Senin, 29 November 2010

Emergencies in Diabetes




Diabetes mellitus can usually be reasonably well controlled on a day-to-day basis with modern drug regimens. Nonetheless, the risks of metabolic decompensation and iatrogenic hypoglycaemia remain close at hand. Life threatening hyperglycaemia – with or without ketosis – may be precipitated by intercurrent illness or interruption of antidiabetic therapy; new cases of diabetes frequently present as hyperglycaemic emergencies. Clinical outcomes for patients with diabetes after myocardial infarction or surgery may be compromised by sub-optimal metabolic control, the presence of chronic co-morbidity in the form of microvascular complications or atherosclerosis magnifying these risks. Pregnancy continues to present particular hazards for mother and fetus. Considerable evidence has now accumulated pointing to the prospect of improved outcomes for more patients with diabetes through meticulous attention to clinical care. Inevitably, many patients will experience temporary periods of metabolic instability that can be difficult to manage even in a controlled hospital environment. Experienced clinicians will attest to the challenges often presented by patients with diabetic metabolic emergencies. This book has been written by experienced authors and investigators, each an expert in his or her field. The chapters aspire to present the salient features of each emergency in an accessible format. We hope the book will be of value to a range of health care professionals who care for patients with diabetes.

Klik disini untuk download

Minggu, 28 November 2010

BETA-CELL DYSFUNTION AND INSULIN RESISTENCE

BETA-CELL DYSFUNTION AND INSULIN RESISTENCE :
ROLE IN ATHEROSCLEROSIS IN TYPE 2 DM
Syafril Syahbuddin at Symposium Hyperglicemia of Patient with Diabetes Mellitus in Clinical Practice
Medan, 28 November 2010







Pendahuluan

Telah banyak dilaporkan bahwa penyakit kardiovaskular aterosklerosis (PKVAS), merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien diabetes mellitus, terutama pada diabetes mellitus tipe-2 (DMT-2). Di klinik, PKVAS ditemukan dalam bentuk penyakit jantung koroner (PJK), penyakit serebrovaskular dan penyakit pembuluh darah perifer. PJK sendiri merupakan penyebab lebih dari 75% kematian oleh PKVAS pada pasien DM. PJK pada DMT-2, terjadi pada usia lebih muda, perjalannya lebih progresif, melibatkan multivessels dan lebih sering mengalami sindroma koroner akut. DM telah dinyatakan sebagai ekuivalen risiko PJK (Grundy et al, 2004). Pasien DM memiliki 3-5 kali risiko kematian oleh PJK, dibandingkan dengan non – DM (Stamler, 1993), sama dengan pada non DM disertai infark jantung. (Heffner, et al. 1998).

Hiperglikemia pada DMT-2 memegang peran penting dalam patogenesis aterosklerosis. Di samping itu, pada DMT-2 sering terdapat kumpulan berbagai factor risiko PKVAS yang didasari oleh resistensi insulin, seperti obesitas, dislipidemia, jipertensi, dll.

Patofisiologi hiperglikemia pada DMT-2 didasari oleh fenomena utama yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel beta pancreas berdasarkan factor genetic yang diperberat oleh factor lingkungan.

Pada DMT-2, hiperglikemia merusak sel endotel vaskuler, sel beta pancreas, reseptor insulin serta jaringan lainnya, yang dikenal sebagai glucotoxicity. Di samping itu, sebagai akibat dari resistensi insulin, terjadi peningkatan asam lemak bebas (ALB) yang juga merusak berbagai jaringan (lipotoxicity). Gluco-lipotoxicity yang tidak terkendali akan merusak sel beta pancreas, mengurangi sekresi insulin, meningkatkan resistensi insulin, sehingga memperberat hiperglikemia dan arterosklerosis. Dengan pemahaman di atas, terapi yang rasional untuk penanggulangan PKVAS pada pasien DMT-2 adalah yang dapat efektif mengatasi hperglikemia melalui perbaikan resistensi insulin dan disfungsi sel beta, di samping mengendalikan berbagai factor resiko PKVAS yang sering menyertainya.

Untuk makalah selengkapnya, akan saya kirimkan melalui email bila anda meminta.

TERAPI BIKARBONAT PADA KETOASIDOSIS DIABETIK


Pemberian terapi bikarbonat pada diabetes ketoasidosis masih controversial. Selain itu belum ada dijumpai penelitian yang luas mengenai asidosis berat pada pasien KAD. Namun hampir semua penelitian awal atau beberapa center setuju bahwa bila pH darah < 7.0 akan sangat mengancam nyawa, terutama bila disertai gangguan respirasi. Dalam keadaan ini terapi bikarbonat dapat diberikan.

Apa yang perlu diingat adalah pemberian bikarbonat akan menyebabkan potassium bergerak masuk ke dalam sel. Oleh sebab itu, sebelum memberikan terapi bikarbonat cek dahulu konsentrasi potassium, bila konsentrasi potassium rendah maka pemberian bikarbonat dapat menyebabkan aritmia jantung serius . Ekstra potassium (sekitar 20 mmol potassium tiap 100 mmol bikarbonat) diberikan pada saat koreksi bikarbonat berlangsung dan konsentrasi plasma potassium segera dicek ulang setelah itu.


Panduan Terapi Asidosis Metabolik

  1. Pertimbangan pemberian terapi pengganti bicarbonat harus berdasarkan keparahan asidemia (pH darah).

  2. Bila pH turun di bawah 7.0, maka terapi bikarbonat harus segera dipertimbangkan, terlebih lagi bila disertai gangguan pernafasan atau hemodinamik.

  3. Jangan pernah memberikan terapi bikarbonat bila tidak mengatahui pH darah.

  4. Bila pemberian bikarbonat sudah ditetapkan, selanjutnya hitung jumlah bikarbonat yang dibutuhkan.
    Rumusnya
    HCO3- = 0,3 x BB (kg) x BE

  5. Pemberian terapi bikarbonat tidak bersifat linear terhadap peningkatan konsentrasi bikarbonat. Pada asidosis ringan, 2 mEq/L akan meningkatkan HCO3- sekitar 4 mEq/L. Pada asidosis berat, 2 mEq/L hanya menaikkan konsentrasi HCO3- sekitar 2 mEq/L.

  6. Pada kasus asidosis yang berlanjut, pemberian dosis bikarbonat mungkin diperlukan.


Dalam hal cara pemberian bikarbonat ada berbagai versi, yang pertama adalah kebutuhan bikaronat yang telah dihitung tersebut diberikan setengahnya dalam bolus (yang diencerkan dalam cairan isotonis 1:2) dan sisanya setengah lagi diberikan secara drips dalam 100 cc NaCl 0,9% (cairan isotonic) habis dalam 1 jam. Segera setelah itu cek kembali semua parameter. Jangan lupa untuk menambahkan 20 mEq kalium ekstra.

Berikutnya adalah pemberian kalium dengan cara seperti yang tercantum berikut ini :
  • Bila pH 6.9 maka diberikan 100 mEq HCO3-

  • Bila pH 6.9 – 7.0 maka diberikan 50 mEq HCO3-

  • Bila pH > 7.0 maka HCO3- tidak perlu diberikan.

Cara ini sepertinya lebih simpel dan pemberian bikarbonat dalam diulang untuk mencapai target pH > 7.0.

REFERENSI

  1. Emergency in Diabetes. Andrew J. Krentz. United Kingdom. 2004

  2. Acid-Base, Fluids, And Electrolytes. Made ridiculously simple. Richard A.
  3. Preston, M.D. International Edition 2000 by McGraw-Hill Book Co.
  4. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_MasalahGangguanAsamBasel.pdf/15_MasalahGangguanAsamBase

  5. Sidartawan Soegondo , et all. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. 2005.

  6. http://www.temple.edu/imreports/Reading/Endo%20%20DM%20Hyperglycemic%20crises.pdf


Sabtu, 27 November 2010

Effect of Glimepiride on Metabolic – Cardiovascular Risk Factors in Patients with T2DM

Effect of Glimepiride on Metabolic – Cardiovascular Risk Factors in Patients with T2DM (The Roles of Amaryl-M®, the Rationale FDC of Glimipiride and Metformin) at Symposium Hyperglikemia of Patients with Diabetes Mellitus in Clinical Practice Medan, 28 November 2010

Askandar Tjokroprawiro
Surabaya Diabetes and Nutrition Center – Dr. Soetomo Teaching Hospital
Faculty of Medicine Airlangga University, Surabaya


Summary

Patients with type-2 diabetes mellitus (T2DM) are prone to metabolic cardiovascular complication, which can occur earlier and more earlier anf more frequently as compared to nondiabetic patients.

Glimipiride is a novel 3rd generation of Sulfonylurea which has been widely reported having 7 (seven) MECAR (metabolic cardiovascular) properties, such as : optimal glycemic control, cardioprotective and insulin sparing effects, 3B-3A-9D specific, glycogenic effect, antiplatelet effect, and adiponectin-raiser. The 3B-3A-9D effects of glimipiride means, that this OAD has 3 fold higher rete Binding (3B) to receptor (that means more rapid action), a 3 fold weaker Affinity (3A) to receptor (means rare hypoglycemic episode), and a 9 fold rate of Dissociation (9D) from its receptor (means rare episode of hypoglycemia). It had been proven that glimipiride remarkably improve insulin resistense by increasing plasma adiponectin and decreasing plasma TNFα . Most recently in 2010, glimipiride can rapidly and stably improve glycemic control (FPG, PPG, and A1C), lipoprotein metabolism, and cardiovascular risk factors (TC, TG, LDL-C, HDL-C, HOMA-R, t-PA, and PAI-I), hence glimipiride can significantly alleviates insulin resistence and enhance fibrinolytic activity.

Recent study demonstrated that after 8 week treatment with glimipiride (Amaryl-M®) on insulin resistant elderly patient with T2DM resulted in a significant increase in plasma adiponectin. Glimipiride – induced adiponectinemia may increase insulin sensitivity and preserve β-cell function of pancreas.

Metformin is unique in being more than an oral antihyperglicemic agent and having clinical properties to improves clinical outcomes in prediabetic individuals, patients with estabilished T2DM, and potentially also having metabolic cardio-and cancer protective properties.

Due to the pleiotropic properties of metformin, this antidiabetic agent has such a “broad spectrum” mechanism for improving the function of the endocrine (insulin resistance, etc) and reducing risk of cardiovascular disease. Hence therapeutic profile of metformin identifies this drug as the treatmen of choice for diabetes prevention of cardiovascular complication in patient with T2DM.

As reported in “the Metformin the Gold Standart. A Scientific Hand Book” in the memorial publication of 50 years of metformin, for future indication, metformin has potential therapeutic value for the treatment of neoplastic disease (cancer suppressor or cancer protector).

Recently, metformin has triple properties (MCC), that means, in the past: Metabolic effect (M), and at present: Metabolic-Cardiovascular effect (C), and in future: Metabolic – Cardiovascular, and Cancer protective effects (C).

Recent study with glimipiride / metformin demonstrated being more efficacious than other sulfonylurea / metformin combination at reaching the glycemic control goals with less hypoglycemic events in patients with uncontrolled T2DM.

Rabu, 24 November 2010

Sosialisasi Program Internsip Dokter Indonesia

Sehubungan surat Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementrian Kesehatan RI nomor : DM.02.04/V.2 / X / 2010, perihal pelaksanaan Sosialisasi Program Internsip Dokter Indonesia, saya ditunjuk oleh direktur Rumah Sakit Sultan Sulaiman untuk menghadiri acara ini.
Hari selasa, 23 November 2010, pukul 07.45 saya sudah tiba di lobby hotel tempat pertemuan sambil membawa seluruh kelengkapan berkas saya. Namum sampai pukul 09.15 WIB belum tampak juga tanda-tanda kemunculan panitia acara. Tidak lama berselang akhirnya muncul beberapa orang panitia dengan terburu-buru. Dengan segala hormat mereka meminta maaf atas keterlambatan ini. Ternyata para pembicara yang berasal dari Jakarta tidak bisa hadir dalam waktu dekat berhubung karena cuaca buruk yang menghambat penerbangan mereka.

Akhirnya, setelah menunggu kurang lebih sekitar 2 jam penantian kamipun terbayarkan. Tampak 4 orang sosok yang begitu bersahaja memasuki ruangan pertemuan sosialisasi. Mereka adalah 3 orang tim Ad Hoc Pelaksana Program Internsip Dokter Indonesia dan Kepala Puspronakes LN Badan PPSDM Kes, Kemenkes RI.

Berikut ini adalah link untuk presentasi beliau sewaktu sosialisasi :

1. http://www.mediafire.com/?xvr9tkb4bayp3v2
2. http://www.mediafire.com/?t4t8d6o4619d4cv
3. http://www.mediafire.com/?wlzr2zm711kp1x7
4. http://www.mediafire.com/?941b2e7451ztmca
5. http://www.mediafire.com/?zf4zkiv6y8xc6vw

Selasa, 23 November 2010

Penempatan atau Penunjukan Wahana

Wahana (sarana pelayanan kesehatan) ditentukan oleh Komite Intersip Dokter Indonesia (KIDI) Pusat. Setiap peserta mendapat 2 wahana yaitu Rumah Sakit dan Puskesmas atau tempat lain. Sebelum memulai Program Internsip, para peserta harus sudah memiliki SIP internsip sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum program internsip dimulai. Kemudian para peserta dibekali oleh KIDI Propinsi selama 3 hari yang meliputi :
  • Penjelasan tentang Program Internsip.
  • Penjelasan peraturan pelaksanaan program berupa tata tertib dan sanksi.
  • Penjelasan dan penandatanganan kontrak internsip.

Selanjutnya peserta akan mengikuti kegiatan program internsip selama 12 bulan di wahana internsip yang telah ditentukan berupa kegiatan di ruang rawat inap, poliklinik, UGD Rumah Sakit, dan di Puskesmas.

Senin, 22 November 2010

Waktu Internsip Dokter Indonesia


Internsip dijalani selama 1 tahun. Masa Internsip dapat diperpanjang bila sasaran akhir yang ditentukan belum tercapai. Pada hakekatnya Internsip wajib sesegera mungkin dilaksanakan oleh dokter yang akan melakukan praktik dokter mandiri. Penundaan pelaksanaan Internsip dimungkinkan dalam waktu paling lama 2 tahun setelah lulus dan atau dengan persetujuan KIDI Pusat. Peserta internsip dapat mengambil cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selasa, 16 November 2010

PENYULUHAN PERAWATAN KAKI DIABETES


Salah satu penyulit kronik dari diabetes adalah kaki diabetes. Sering kali kita jumpai penderita mengeluh kaki terasa sakit, kebas, dingin, perubahan warna kulit (kaki tampak pucat atau kebiru-biruan) dan luka yang sukar sembuh. Tidak jarang pasien datang pada saat kakinya sudah mengalami infeksi dan berkembang menjadi ulkus gangrene. Beberapa penelitian di Indonesia melaporkan bahwa angka kematian ulkus gangrene pada penyandang diabetes mellitus berkisar 17% -32%, sedangkan angka laju amputasi berkisar antara 15% - 30%. Perawatan kaki yang baik dapat mencegah kejadian amputasi sekitar 1/2 sampai 3/4 .

Kaki Diabetes

Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus yang tidak terkendali. Kelainan kaki diabetes mellitus dapat disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan adanya infeksi.

  1. Gangguan Pembuluh Darah

  2. Keadaan hiperglikemia yang terus-menerus akan mempunyai dampak pada penurunan kemampuan pembuluh darah untuk berkiontraksi dan relaksasi. Hal ini mengakibatkan sirkulasi darah tubuh menurun, terutama kaki, dengan gejala sebagai berikut :

    • Sakit pada tungkai bila berdiri, berjalan dan melakukan kegiatan fisik.

    • Jika diraba kaki terasa dingin, tidak hangat.

    • Rasa nyeri kaki pada waktu istirahat dan malam hari.

    • Sakit pada telapak kai saat berjalan.

    • Jika luka sukar sembuh.

    • Pemeriksaan tekanan nadi kaki menjadi kecil atau hilang.

    • Perubahan warna kulit, kaki tampak pucat atau kebiru-biruan.


  3. Gangguan Persyarafan (Neuropati)
    Neuropat akan menghambat sinyal, rangsangan atau terputusnya komunikasi dalam tubuh. Syaraf pada kaki sangat penting dalam menyampaikan pesan ke otak, sehingga menyadarkan kita akan adanya bahaya pada kaki, misalnya kena paku atau benda-benda panas. Kaki diabetes dengan neuropati akan mengalami gangguan sensorik, motorik dan otonomik. Neuropati sensorik ditandai dengan perasaan baal atau kebal (parastesia), kurang berasa (hipestesia) terutama ujung kaki terasa rasa panas, dingin dan sakit, kadang disertai pegal dan nyeri di kaki. Neuropati motorik ditandai dengan kelemahan system otot, otot mengecil, mudah lelah, kram otot, deformitas kaki (charcot), ibu jari seperti palu (hammer toe), sulit mengatur keseimbangan tubuh. Gangguan syaraf otonomik kulit kaki akan terlihat kering, pecah dan tidak berkeringat.


  4. Infeksi

Penurunan sirkulasi darah kaki menghambat proses penyembuhan luka, akibatnya kuman masuk ke dalam luka dan terjadi infeksi. Peningkatan kadar gula darah akan menghambat kerja leukosit dalam mengatasi infeksi, luka menjadi ulkus gangrene dan terjadi perluasan infeksi sampai ke tulang (osteomielitis), bila tidak diketahui dan ditanggulangi. Kaki yang mengalami ulkus gangrene luas sulit untuk diatasi, yang memerlukan tindakan amputasi.

Masalah Umum Pada Kaki Diabetes

Luka melepuh pada kaki akibat pemakaian sepatu yang sempit atau baru pada orang yang tidak diabetes adalah tapi hal yang biasa, tetapi bagi orang diabetes luka tersebut akan menjadi masalah besar. Terdapat tiga alasan mengapa orang dengan diabetes lebih tinggi resikonya mengalami masalah kaki, yaitu :
  • Sirkulasi darah kaki dari tungkai yang menurun

  • Berkurangnya perasaan pada kedua kaki

  • Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi.


Adanya masalah tersebut pada kaki diabetes, akan menimbulkan beberapa masalah yang umumnya terjadi antara lain:

  1. Kapalan, Mata Ikan dan Melepuh
    Kapalan (callus), mata ikan (kutilmulmul) merupakan penebalan atau pengerasan kulit yang juga terjadi pada kaki diabetes, akibat dari adanya neuropati dan penurunan sirkulasi darah dan juga gesekan atau tekanan yang berulang-ulang pada daerah tertentu di kaki. Jika kejadian tersebut tidak diketahui dan diobati dengan tepat, maka akan menimbulkan luka pada jaringan di bawahnya, yang berlanjut dengan infeksi menjadi ulkus.
    Kadang-kadang ulkus tidak dapat terlihat dan diarasa akibat adanya neuropati, dan diketahui setelah keluarnya cairan atau nanah, yang merupakan tanda awal dari masalah. Jadi harus segera diobati dan dirujuk ke podiatrist atau tim kesehatan. Kejadian kulit melepuh atau iritasi sering diakibatkan oleh pemakaian sepatu yang sempit, jika hal ini terjadi jangan mengobati sendiri.


  2. Cantengan (kuku masuk kedalam jaringan)
    Cantengan merupakan kejadian luka infeksi pada jaringan sekitar kuku yang sering disebabkan adanya pertumbuhan kuku yang salah. Keadaan seperti ini disebabkan oleh perawatan kuku yang tidak tepat misalnya pemotongan kuku yang salah (seperti terlalu pendek atau miring), kebiasaan mencungkil kuku yang kotor. Seperti kita ketahui kuku juga merupakan sumber kuman, jadi bila ada luka mudah terinfeksi. Cantengan ditandai dengan sakit pada jaringan sekitar kuku, merah dan bengkak dan keluar cairan nanah, yang harus segera ditanggulangi.


  3. Kulit Kaki Retak dan Luka Kena Kutu Air
    Kerusakan syaraf dapat menyebabkan kulit sangat kering, bersisik, retak dan pecah-pecah, terutama pada sela-sela jari kaki. Kulit kaki yang pecah memudahkan berkembangnya infeksi jamur dikenal dengan kutu air, yang dapat berlanjut menjadi ulkus gangrene.


  4. Kutil Pada Telapak Kaki.
    Kutil pada telapak kaki disebabkan oleh virus dan sangat sulit dibersihkan. Biasanya terjadi pada telapak kaki hamper mirip dengan callus, jangan diobati sendiri, periksakan ke dokter.


  5. Radang Ibu Jari Kaki (Jari Seperti Martil)
    Pemakaian sepatu yang terlalu sempit dapat menimbulkan luka pada jari-jari kaki, kemudian terjadi peradangan. Adanya neuropati dan peradangan yang lain pada ibu jari kaki menyebabkan terjadinya perubahan bentuk ibu jari kaki seperti martil (hammer toe). Kejadian ini dapat juga disebabkan adanya kelainan anatomic yang dapat menimbulkan titik tekan abnormal pada kaki. Kadang-kadang pembedahan diperlukan untuk mencegah komplikasi ke tulang.


Upaya Pencegahan Primer

Perawatan kaki merupakan sebagian dari upaya pencegahan primer pada pengelolaan kaki diabetic yang bertujuan untuk mencegah terjadinya luka. Upaya pencegahan primer antara lain :
  1. Penyuluhan kesehatan DM, komplikasi dan kesehatan kaki

  2. Status gizi yang baik dan pengendalian DM.

  3. Pemeriksaan berkala DM dan komplikasinya

  4. Pemeriksaan berkala pada kaki penderita

  5. Pencegahan/perlindungan terhadap trauma-sepatu khusus.

  6. Higiene personal termasuk kaki.

  7. Menghilangkan factor biomekanis yang mungkin menyebabkan ulkus.


Apakah yang harus dilakukan

  1. Periksa kaki setiap hari, apakah ada kulit retak, melepuh, luka, perdarahan. Gunakan cermin untuk melihat bagian bawah kaki, atau minta bantuan orang lain untuk memeriksa.
  2. Bersihkan kaki setiap hari pada waktu mandi dengan air bersih dan sabun mandi. Bila perlu gosok kaki dengan sikat lunak atau batu apung. Keringkan kaki dengan handuk bersih, lembut, yakinkan daerah sela-sela jari kaki dalam keadaan kering, terutama sela jari kaki ketiga-keempat dan keempat-kelima.

  3. Berikan pelembab/lotion (hand body lotion) pada daerah kaki yang kering, tetapi tidak pada sela-sela jari kaki. Pelembab gunanya untuk menjaga agar kulit tidak retak.

  4. Gunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu pendek atau terlalu dekat dengan kulit, kemudian kikir agar kuku tidak tajam. Bila penglihatan kurang baik minta pertolongan orang lain untuk memotong kuku atau megikir kuku setiap dua hari sekali. Hindarkan terjadi luka pada jaringan sekitar kuku. Bila kuku keras sulit untuk dipotong, rendam kaki dengan air hangat kuku (37°C) selama ± 5 menit, bersihkan dengan sikat kuku, sabun dan air bersih. Bersihkan kuku setiap hari pada waktu mandi dan berikan krem pelembab kuku.

  5. Memakai alas kaki sepatu atau sandal untuk melindungi kaki agar tidak terjadi luka, juga di dalam rumah.

  6. Gunakan sepatu atau sandal yang baik yang sesuai dengan ukuran dan enak untuk dipakai, dengan ruang dalam sepatu yang cukup untuk jari-jari. Pakailah kaus/stocking yang pas dan bersih terbuat dari bahan yang mengandung katun. Syarat sepatu yang baik untuk kaki diabetic :
    1. Ukuran : sepatu lebih dalam, panjang sepatu ½ inchi lebih panjang dari jari-jari kaki terpanjang saat berdiri (sesuai cetakan kaki).

    2. Bentuk : ujung tidak runcing, tinggi tumit kurang dari 2 inchi.

    3. Bagian dalam bawah (insole) tidak kasar dan licin, terbuat dari bahan busa karet, plastic dengan tebal 10-12 mm.

    4. Ruang dalam sepatu longgar, lebar sesuai dengan bentuk kaki.

  7. Periksa sepatu sebelum dipakai, apakah ada kerikil, benda-benda tajam seperti jarum dan duri. Lepas sepatu setiap 4-6 jam serta gerakkan pergelangan dan jari-jari kaki agar sirkulasi darah tetap baik terutama pada pemakaian sepatu baru.

  8. Bila ada luka kecil, obati luka dan tutup dengan pembalut bersih. Periksa apakah ada tanda-tanda radang.

  9. Segera ke dokter bila kaki mengalami luka.

  10. Periksakan kaki ke dokter secara rutin.


Senam Kaki Diabetes

Kaki diabetes mengalami gangguan sirkulasi darah dan neuropati dianjurkan untuk melakukan latihan jasmani atau senam kaki sesuai dengan kondisi dan kemampuan tubuh. Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki (deformitas). Selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis dan otot paha (gastrocnemeus, Hamstring, Quadriceps), dan juga mengatasi keterbatasan gerak sendi (limitation of joint mobility).

Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk dan tidur, dengan cara menggerakkan kaki dan sendi-sendi kaki misalnya berdiri dengan kedua tumit diangkat, mengangkat kaki dan menurunkan kaki. Gerakan dapat berupa gerakan menekuk, meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau kedalam dan mencengkram pada jari-jari kaki. Latihan senam kaki diabetes dapat dilakukan setiap hari secara teratur, sambil santai dirumah bersama keluarga, juga pada waktu kaki terasa dingin, lakukan senam ulang.

Apa Yang Tidak Boleh Dilakukan :


  1. Jangan merendam kaki.

  2. Jangan pergunakan botol panas atau peralatan listrik untuk memanaskan kaki.

  3. Jangan gunakan batu/ silet untuk mengurangi kapalan (callus).

  4. Jangan merokok.

  5. Jangan pakai sepatu atau kaos kaki sempit.

  6. Jangan menggunakan obat-obatan tanpa anjuran dokter untuk menghilangkan ‘mata ikan’.

  7. Jangan gunakan sikat atau pisau untuk kaki.

  8. Jangan membiarkan luka kecil di kaki, sekecil apapun luka tersebut.


Perawatan kaki merupakan upaya pencegahan primer terjadinya luka pada kaki diabetes. Tindakan yang harus dilakukan dalam perawatan kaki untuk mengetahuii adanya kelainan kaki secara dini, memotong kuku yang benar, pemakaian alas kaki yang baik, menjaga kebersihan kaki dan senam kaki. Hal yang tidak boleh dilakukan mengatasi sendiri bila ada masalah pada kaki atau penggunaan alat-alat/benda. Pasien perlu mengetahui perawatan kaki diabetic dengan baik, dengan demikian kejadian ulkus gangrene dan amputasi dapat dihindarkan.

Referensi

1.Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. 2005.

Minggu, 14 November 2010

Medan Insulin 02-04-2010

Medan insulin terdiri dari 2 presentasi :

  1. Insulin therapy in daily practice

  2. presentation insulin di PIT XI


Berikut ini daftar linknya :

http://www.mediafire.com/?uknyr8uyxk4v3fh
http://www.mediafire.com/?aufw417ufvtdf86

Terima kasih kepada dr. Mira, teman saya...

Jumat, 12 November 2010

Medan Pain Management

Medan Pain Management 13-02-2010 terdiri dari 7 presentasi :

  1. Kasus nyeri pada praktek sehari-hari

  2. NSAID dalam penatalaksanaan nyeri

  3. Pengukuran nyeri

  4. Chest pain

  5. Head pain

  6. Nyeri sendi Dx dan Tx


Berikut ini adalah link untuk mendownload

http://www.mediafire.com/?5op3fr6yslkspg4
http://www.mediafire.com/?nilfli2h63ovlli
http://www.mediafire.com/?zza8ar23jcj8pv7
http://www.mediafire.com/?f8e4x7w7dr7qvis
http://www.mediafire.com/?q3msi3trt912v95
http://www.mediafire.com/?15u9kaa5o3ccq5v

Terima kasih kepada rekan saya dr. Syafrina Asmari

OBAT ALAMI UNTUK PENYAKIT JANTUNG KORONER




Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Menurut Framingham Heart Study dari National Heart and Lung Institute di Massachusetts, penyakit jantung koroner disebabkan oleh 7 faktor risiko utama. Faktor tersebut meliputi peningkatan kadar kolesterol darah, trigliserida dan substansi lemak lainnya; peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar asam urat dalam darah serta gangguan metabolik, khususnya diabetes, obesitas, merokok, dan kurangnya aktivitas fi sik. Selain menggunakan pengobatan medis kedokteran, Anda bisa membantu mengatasi penyakit ini dengan beberapa bahan alami. Berikut beberapa di antaranya: Anggur. Secara umum, buah-buahan segar bermanfaat dalam membantu mengatasi penyakit jantung. Anggur efektif meredakan rasa nyeri dan menurunkan denyut jantung. Penyakit tersebut dinyatakan bisa dikontrol dengan cepat jika pasien mengadopsi diet eksklusif dengan anggur selama beberapa hari. Jus anggur khususnya sangat bermanfaat saat seseorang menderita serangan jantung.

Apel. Apel mengandung komponen yang berfungsi menstimulasi jantung. Apel dan olahan apel seperti selai apel sangat bermanfaat bagi pasien penderita payah jantung.

Bawang merah.
Bawang merah dinyatakan sangat bermanfaat untuk mengatasi penyakit jantung. Sayuran ini bekerja menormalkan kolesterol darah dengan mengoksidasi kelebihan kolesterol. Satu sendok teh jus bawang merah mentah di pagi hari dinyatakan sangat bermanfaat dalam kasus-kasus seperti ini.

Madu. Madu mengandung berbagai komponen yang berfungsi mencegah semua jenis penyakit jantung. Madu bekerja memacu jantung dan memperlancar sirkulasi darah. Selain itu, madu juga efektif dalam meredakan rasa nyeri dan denyut jantung. Cukup satu sendok makan madu per hari dikonsumsi setelah makan.

Asparagus. Asparagus merupakan makanan yang baik untuk menguatkan jantung. Untuk membantu mengatasi payah jantung dan pembesaran jantung, cobalah membuat campuran ekstrak jus asparagus segar dengan madu, dengan perbandingan 2:1. Obat ini sebaiknya dikonsumsi 3 kali sehari.

Alfalfa. Jus herbal ini telah terbukti sangat membantu sebagian besar kasus yang berkaitan dengan penyakit arteri dan jantung. Untuk tujuan ini, perlu menggunakan daun tanaman ini. Akan tetapi, jus alfalfa terlalu keras jika dikonsumsi sendiri. Karena itu, ada baiknya mencampurnya dengan jus wortel dalam jumlah yang setara, masing-masing 125 mililiter. Dengan kombinasi seperti ini, manfaat masingmasing jus akan ditingkatkan.

Saffl ower. Minyak saffl ower terbukti efektif menurunkan kolesterol darah. Karena itu bisa digunakan oleh orang yang menderita gangguan kardiovaskular.

Vitamin E. Pasien penyakit jantung sebaiknya menambah asupan makanan yang kaya vitamin E. Vitamin ini dinyatakan memperbaiki fungsi jantung dengan cara memperbaiki oksigenasi sel-sel. Vitamin E juga meningkatkan sirkulasi darah dan kekuatan otot. Produk- produk wholemeal dan sayuran hijau, khususnya daun kubis bagian luar, merupakan sumber vitamin E.

Vitamin C. Vitamin C juga penting karena berperan melindungi kerusakan spontan dinding kapiler yang bisa memicu serangan jantung. Vitamin C juga mencegah peningkatan kolesterol darah. Stres dan kemarahan, ketakutan dan kekecewaan serta emosi sejenis lainnya bisa meningkatkan lemak dan kolesterol darah. Tapi, reaksi stres ini tidak akan membahayakan jika diet Anda cukup vitamin C dan asam pantotenat. Buah sitrus merupakan salah satu sumber terkaya vitamin C. _ (NFA).

Cermin Dunia Kedokteran 176 / vol. 37 no. 3 / April 2010

Rabu, 10 November 2010

TERAPI INSULIN PADA PASIEN DKA



Bagaimana cara pemberian insulin

Intravena

a. Infus Intravena Dosis Rendah Berkelanjutan ( Continuous Infusion of Low Dose Insulin)

Insulin infus intravena dosis rendah berkelanjutan merupakan standar baku pemberian insulin di sebagian besar pusat pelayanan medis. Pemberian insulin infuse intravena dosis rendah 4-8 ( biasanya 6 )unit/ jam menghasilkan kadar insulin sekitar 100 µU/ml dan dapat meneka glukoneogenesis dan lipolisis sebanyak 100%.2, 3

Pemberian insulin ini dapat dilakukan dengan menggunakan syringe-driver infusion pump atau pada pusat pelayanan yang tidak memiliki alat ini dapat menggunakan botol infuse.2, 3

Bila terdapat syringe pump, siapkan 50 unit insulin regular (RI) dalam spuit 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9% hingga mencapai 50 cc ( 1cc NaCl = 1 unit RI). Bila diperlukan 6 unit insulin/jam, petugas tinggal mengatur kecepatan tetesan 6 cc/jam.2


Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infuse 500 cc larutan NaCl 0,9%. Sebaiknya gunakan infuse microdrip. Masukkan 50 unit RI (dapat juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya akan diperhitungkan dalam tetesan) kedalam botol infuse 500 cc larutan NaCl 0,9%. 2

Terapi insulin diawali dengan pemberian dosis awal (loading dose) yang diberikan secara bolus IV dengan dosis sebesar 0,15 U/kgBB yang diikuti dengan drips insulin 0,1 U/kgBB/jam.5, 6, 7, 8

Dalam buku “Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu” yang diterbitkan oleh balai penerbit FKUI terapi insulin adalah sebagai berikut; pemberian insulin dalam bentuk bolus (intravena) dosis 0,18 U/kgBB, dilanjutkan dengan dengan drip insulin 0,09 U/jam/kgBB dalam NaCl 0,9%. 4

Target Pencapaian atau Monitoring

  • Tingkatkan dosis insulin 1 U setiap 1-2 jam bila penurunan glukosa darah < 10% (target penurunan 50 -70 mg/dL/jam).

  • Kurangi dosis 1-2 U/jam bila kadar glukosa darah < 250 mg/dl (0,05 – 0,1 U/kg/jam), atau keadaan klinis membaik dengan cepat dan kadar glukosa turun > 75 mg/dL/jam.

  • Jangan meurunkan infuse insulin < 1 U/jam

  • Pertahankan glukosa darah 140 – 180 mg/dL.

  • Bila kadar glukosa darah selalu < 100 mg/dL, ganti infuse dengan Dekstrosse 10 % untuk mempertahankan kadar glukosa darah 140 -180 mg/dL.

  • Bila pasien sudah dapat makan pertimbangkan pemberian insulin subkutan.

  • Insulin infuse intravena jangan dulu dihentikan pada saat insulin subkutan mulai diberikan, tetapi lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam.


Contoh :
Pasien dengan BB 50 kg. Hitung kebutuhan insulinnya.
Dosis awal adalah 0,15 U/kgBB ~ 0,15 x 50 = 7,5 U yang diberikan secara bolus intravena. Selanjutnya dosis insulin drip 0,1 U/kgBB/jam ~ 0,1 x 50 = 5 U/jam. Ambil 50 U insulin regular dan campurkan ke dalam 500 cc larutan NaCl 0,9%, dimana artinya setiap 10 cc larutan NaCl 0,9% mengandung 1 U insulin regular.
Dosis yang kita butuhkan adalah 5 U/jam, maka ≈ 50 cc/jam ≈ 50 gtt/i (mikro).


Cara pemberian infus insulin dosis rendah berkelanjutan dikaiatkan dengan komplikasi metabolic seperti hipoglikemia, hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesia, hiperlaktemia,dan disequilibrium osmotikyang lebih jarang dibandingkan dengan cara terapai insulin dosis besar secara intermiten atau berkala.


b. Insulin bolus intravena intermiten

Sampai sekarang banyak protocol sudah meninggalkan cara ini.9

Intramuskular1, 2
Insulin kerja pendek diberikan secara berkala setiap 1-2 jam. Penurunan kadar glukosa darah yang dicapai secara IM lebih lambat dibandingkan dengan cara pemberian infus intravena berkelanjutan. Cara ini biasanya dijalankan di pusat pelayanan medis yang sulit memantau pemberian insulin infuse intravena berkelanjutan. Terapi insulin IM dimulai dengan pemberian loading dose sebesar 10 – 20 U yang dilanjutkan dengan 5 unit setiap 1 – 2 jam.
.
Subkutan
Efektivitas pemberian subkutan tidak diketahui.1 Oleh sebab itu pemberian insulin subkutan pada keadaan akut tidak dianjurkan. Namun bila kadar glukosa darah sudah stabil dan pasien mulai mendapatkan makanan, pemberian insulin dapat dialihkan secara subkutan.2


REFERENSI

  1. Evidence Based Medicine Guidelines. Ilkka Kunnamo. Duodecim Medical Publications Ltd. 2005.

  2. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus.

  3. Emergency in Diabetes. Andrew J. Krentz. United Kingdom. 2004

  4. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. 2005.

  5. Principles and Practice of Emergency Medicine 4th edition (January 15, 1999) by George R. Schwartz (Editor), Paul B. Roth (Editor), James S. Cohen (Editor) By Lippincott, Williams & Wilkins

  6. Critical Care Medicine Just the Fact. Jesse B. Hall, MD, Gregory A. Schmidt, MD, D. Kyle Hogarth, MD.Copyright © 2007 by The McGraw-Hill Companies,
  7. Conn's Current Therapy 2008, 60th ed.

  8. KRISIS HIPERGLIKEMIA PADA DIABETES MELITUS. Augusta L. Arifin Nanny Natalia Sri Hartini KS Kariadi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS Dr Hasan Sadikin Bandung.

  9. Diabetic Ketoasidosis Anasthesia Tutorial of the Week 128 6TH April 2009 at worldanaesthesia@mac.com

Jumat, 05 November 2010

Widal Positif Belum Tentu Tifusl

Prof.Dr. Iwan Darmansjah, SpFK
Artikel dari milis tetangga, semoga bermanfaat

Bila musim sedang berganti di Indonesia, terutama di kota-kota besar, sering ditemukan penyakit tifus yang merupakan penyakit usus halus. Penyebabnya beberapa tipe kuman Salmonella typhi. Kuman tifus terutama dibawa oleh air dan makanan yang tercemar, karena sumber air minum di Jakarta, umpamanya, kurang memenuhi syarat. Sayuran dapat saja dicuci dengan air kali yang juga dipakai untuk penampungan limbah. Kakus pun berakhir di got atau kali. Padahal kuman tifus berasal dari kotoran manusia yang sedang sakit tifus. Karena kota-kota besar merupakan kakus terbuka raksasa, maka kuman tifus pun berada dalam banyak minuman dan makanan yang lolos oleh proses memasak.

Keadaan itu menyebabkan kenyataan : mungkin tidak ada orang di Jakarta yang tidak pernah menelan kuman tifus ! Bila hanya sedikit kuman yang terminum, biasanya orang tidak terkena tifus. Namun, kuman yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi imun yang dapat dipantau dari darah; dikenal dengan reaksi Widal yang positif.

Seseorang di Indonesia yang mempunyai reaksi Widal positif, belum berarti sakit tifus. Tapi bila reaksi Widal positif ini terjadi seumpama di Swiss, dan orang itu tidak pernah makan di pinggir jalan Jakarta serta tidak pernah diberi vaksin tifus, maka kemungkinan ia benar menderita tifus. Di negara maju sistem pembuangan limbah disalurkan melalui pipa-pipa tertutup sehingga tidak bercampur dengan kotoran manusia.

Dewasa ini pemeriksaan Widal di laboratorium umum dilakukan begitu terdapat demam 1-3 hari. Bila reaksi Widal ditemukan positif, orang menjadi gelisah. Kadang-kadang ia makan obat antibiotik sendiri atau memperlihatkan hasil laboratorium itu kepada dokter. Sering terjadi, dokter langsung memberikan obat tifus kepadanya.

Widal, seperti semua hasil laboratorium, harus diinterpretasikan dengan bijak. Tanda-tanda klinis penderita harus lebih diutamakan daripada reaksi Widal yang positif. Mengapa ? Karena hampir semua orang di Indonesia mempunyai reaksi Widal positif tanpa sakit tifus.
Penderita tifus mulai demam rendah (subfebril) malam hari, hilang esoknya, terulang lagi malamnya, menjadi makin hari makin tinggi. Mulainya malam saja, kemudian siang juga. Tifus tidak pernah mulai dengan demam tinggi pada hari pertama sampai ketiga. Bila demam terus berlanjut dan pada hari ke 5 - 6 menjadi lebih tinggi, maka barulah tiba waktunya untuk memeriksa Widal dan melakukan pembiakan kuman dari darah. Hasil pembiakan kuman tifus yang positif merupakan bukti pasti adanya tifus. Sayangnya, hasil kultur kuman ini baru diketahui sesudah satu minggu (diluar negeri dalam 2 - 3 hari, dan ini merupakan tantangan untuk laboratorium kita).

Angka reaksi Widal sendiri tidak ada artinya, karena naiknya suhu yang khas, perlahan, sampai tercapai suhu tinggi sesudah 5 - 6 hari merupakan simtom yang lebih penting untuk menduga adanya tifus. Demam tinggi yang terjadi sampai 4 - 5 hari, tanpa tanda-tanda infeksi kuman yang jelas, lebih dari 90% kemungkinannya ialah infeksi oleh virus, yang tidak perlu diberi antibiotika.

Berbeda dengan diet zaman dulu, kini tifus tidak memerlukan diet bubur yang ketat; nasi agak lembek sudah cukup. Daging, telur, ikan, ayam, tahu, tempe, sedikit sayur, dan buah boleh saja. Namun, yang pedas dan keras seperti kacang sebaiknya dihindarkan. Yang lebih penting ialah istirahat (tidur terlentang) sepanjang hari, sampai panas turun selama beberapa hari.

Bila dirawat di rumah ia masih diperbolehkan berdiri dan jalan perlahan hanya satu kali sehari untuk buang hajat. Kencing dilakukan di tempat tidur saja. Suhu perlu dicatat empat kali sehari untuk ditunjukkan pada dokter yang merawat. Namun, penderita dilarang pergi ke tempat praktek dokter. Banyak pergerakan menyebabkan suhu naik lagi, karena kuman terlepas dari tempat perkembangannya di usus masuk ke dalam darah. Pergerakan banyak juga menimbulkan risiko usus pecah pada minggu ke 3 - 4. Dengan perawatan ini dan obat antitifus yang khusus, demam baru akan turun dalam 4 - 8 hari. Bila panas sudah turun dalam 1 - 2 hari setelah pengobatan kemugkinan bukan tifus yang diderita.

Sekali Lagi Mengenai Test Widal Untuk Tifus

Seorang wanita, 13 thn, yang bertubuh besar dan biasanya sehat, datang dengan demam 6 hari. Demam tidak terlalu tinggi dan datang hilang selama 5 hari dan terukur 39.5° C di kamar praktek. Pasien diantar ayahnya, membawa hasil laboratorium (inisiatif sendiri), termasuk nilai titer Widal (antara 0 dan 1/160) yang semuanya normal. Ia mengeluh sakit kepala dan mual sebagai keluhan utama, serta berak encer 1 kali. Wajahnya menunjukkan ia menderita ringan saja. Saya beri surat periksa labor untuk tes urine lengkap dan kultur darah, yang hasilnya baru akan diperoleh beberapa hari lagi. Dengan diagnosis klinis tifus saya beri siprofloksasin dengan pesan tidak boleh jalan dan istirahat tidur di rumah. Tanggal 14 Des demam naik 40.1°C dan karena ayah panik, pasien dirawat di RS PI, dimana ia diberi infus cefotaxime. Tgl 16 Des saya menerima SMS, menyatakan hasil kultur darah tifus positif.

Apakah Tes Widal harus dilakukan pada semua pasien demam?

Sejak beberapa tahun terakhir pemeriksaan tes Widal menjadi rutin menscreen penderita demam untuk penyakit tifus. Kebiasaan ini hanya terjadi di Indonesia. Entah asal mulanya dari mana sulit dilacak, karena hampir semua dokter spesialis dan umum melakukannya secara salah kaprah kolektif. Hal ini begitu menyolok, sehingga pasien sendiri meminta labor melakukannya bila demam. Pengelola labor-pun secara tidak etis menawarkan test ini kepada setiap pasien yang lagi demam. Pada hal, semua dokter harus tahu bahwa nilai titer Widal tidak bisa dipakai untuk mendiagnosis tifus. Semua buku kedokteran juga tidak ada yang akan membenarkannya. Sehingga tujuan komersial oleh para pelaku tidak bisa disingkirkan/

Reaksi Widal merupakan test imunitas yang ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi /paratyphi, yaitu kuman yang terdapat di minuman dan makanan kita yang terkontaminasi dengan tinja orang yang sakit tifus. Jakarta dan Indonesia merupakan reservoir raksaksa kuman salmonella dan lainnya. Semua manusia di Indonesia pasti pernah kemasukan kuman salmonella melalui food-chain ini. Bila kebetulan jumlah kuman yang tertelan cukup besar mungkin akan timbul penyakit tifus yang terutama ditandai oleh demam berkepanjangan sebagai ciri khas. Namun tidak semua demam adalah tifus. Tifus perlu dicurigai bila demam berlanjut sedikitnya 6-7 hari. Juga demam tifus pada hari2 permulaan hanya ringan, tidak konstan, naik-turun, dan hanya setelah 5-7 hari akan tinggi menetap, disertai badan pegal dan sakit kepala, serta kadang2 mual dan diare ringan. Diagnosis tifus bisa dicurigai setelah demam sekitar seminggu ditambah gejala2 diatas. Secara statistik juga demam tanpa adanya gejala positif yang mengarah ke penyakit lain, kemungkinan tifus adalah yang paling besar di Jakarta. Hal ini juga ditopang oleh musim kemarau dan banjir yang membawa kuman salmonella.

Pemeriksaan labor untuk konfirmasi kecurigaan tadi ialah kultur darah, dilakukan sewaktu ada demam tinggi yang merupakan pertanda bahwa kuman sedang menyebar dalam darah (sehingga lebih mudah dikultur). Kultur tidak bia dilakukan pada hari2 permulaan demam karena cenderung masih negatif. Kita harus menunggu hingga demam sudah tinggi dan konstan. Sayangnya hasil kultur untuk kepastian diagnosanya baru diperoleh setelah 4-6 hari. Namun pengobatan sudah bisa dilakukan atas dasar penilaian klinis, sambil menunggu hasil kultur. Test Widal tidak bisa dipercayai karena terlalu banyak test yang false positif maupun false negative.

Test Widal hanya akan berguna untuk follow-up, terutama jaman dulu waktu mana belum ada antibiotika dan tifus bisa berlangsung 1 bulan atau lebih. Ia berguna untuk melihat apakah titernya naik selama penyakit tersebut. Inipun tidak berguna lagi karena obat antibiotik yang ampuh sudah tersedia dan akan menyembuhkan tifus dalam 7-10 hari, sehingga tidak perlu follow-up. Tingginya titer juga sangat individual dan tergantung kemampuan tubuh kita membuat antibody. Misalnya, saya mempunyai seorang pasien laki, muda yang selama lebih dari 6 bulan (tanpa demam) diberi antibiotika berganti2 oleh dokternya hanya karena titer Widalnya sangat tinggi (sekitar 1/8000) dan tidak mau turun. Tentu hal ini mubazir.

Sekarang musim hujan lagi dan frekuensi tifus akan naik di Jakarta. Bawalah tulisan ini dan berilah ke dokter anda bila anda disuruh periksa Widal. Be a smart patient!.

Makna Nilai Laboratorium


Dengan adanya teknologi canggih, maka banyak orang mengira bahwa dengan memeriksakan diri di suatu laboratorium dapat menentukan penyakit yang dideritanya, misalnya bila terjadi demam. Asumsi ini tidak benar. Ilmu kedokteran mendiagnosa penyakit terutama dengan cara klinis, dan laboratorium merupakan pelengkap. Sering hasil laboratorium disertai dengan nilai-nilai normal disebelah nilai yang ditemukan, sehingga sangat sugestif bahwa bila nilai yang ditemukan itu di luar batas-batas normal, maka hal itu berarti "abnormal", dan abnormal diartikan “sakit”. Hal ini TIDAK BENAR.
.
Sebelum kita menarik kesimpulan seperti di atas perlu difahami beberapa hal:

  1. Nilai laboratorium "normal" ditentukan oleh himpunan data nilai lab yang banyak sekali dari orang-orang yang dianggap dalam kondisi "normal" sehingga diperoleh batasan yang dianggap "normal" secara statistik. Namun manusia sangat bervariasi sehingga perolehan
    nilai lab itu perlu diinterpretasi secara ilmiah. Misalnya suatu nilai darah, seperti laju endap darah dapat dipengaruhi oleh ada-tidaknya haid, dan caveat ini tidak disebut dalam laporannya. Walaupun suatu nilai yang tinggi, misalnya 100 mm/1jam, dapat dihubungkan dengan suatu proses di tubuh seperti adanya infeksi atau adanya tumor bila memang didukung oleh keadaan klinis. Kekecualian pun bisa terjadi, artinya "tidak ada penyakit".

  2. Ada nilai lab yang mempunyai batasan normal sempit, dan perolehan
    nilai dil luar batasan ini berarti pasti abnormal (sakit). Misalnya, tinggi-rendahnya hemoglobin (Hb) dapat memastikan adanya anemia ("kurang darah"), dan dapat ditentukan secara konsensus, dibawah nilai Hb berapa, diperlukan transfusi darah. Contoh lain, misalnya, nilai fungsi ginjal, kreatinin, mempunyai batasan normal yang sempit, dan di atas batasan ini menunjukkan semakin berkurangnya fungsi ginjal secara pasti. Terdapat hubungan jelas antara bertambahnya nilai kreatinin dengan derajat kerusakan ginjal, sehingga diketahui pada nilai berapa perlu dilakukan tindakan cuci darah misalnya.

  3. Sebagian nilai lab mempunyai batasan lebar dan arti yang kadang-
    kadang tidak terlalu penting bila batasan "normal" dilampaui. Memperoleh nilai reaksi Widal positif untuk menandakan adanya antibody terhadap kuman tifus dalam tubuh kita merupakan suatu nilai lab yang sering dirisaukan oleh penderita bila ada demam. Dalam terbitan INTISARI bulan ……….telah dibahas mengenai arti suatu reaksi Widal yang positif, yang belum tentu berarti menderita tifus. Widal positif tanpa adanya demam khas selama kurang-lebih seminggu bukanlah tifus. Reaksi Widal positif hanya disebabkan oleh tercemarnya sumber air minum di kota-kota besar Indonesia oleh kuman Salmonella typhi dari penderita tifus.

  4. Nilai tinggi kolesterol dan asam urat dewasa ini juga merupakan momok untuk mereka yang suka makan enak dan banyak. Segala gejala yang dirasakan seperti pegal, linu, sakit kepala, sakit sendi, dikhawatirkan sebagai akibatnya. Sebagian besar hal ini tidak benar, dan kenaikan sedikit diatas "normal" tidak perlu dirisaukan; apalagi diharuskan makan obat. Biasanya dengan melakukan diet yang baik nilai- nilai ini sudah turun ke normal. Sebaliknya makan obat disertai makan banyak berlemak tentu merupakan tindakan tidak rasional.

  5. Pemeriksaan lab juga sering berlebihan; semua fungsi fisiologis
    diperiksakan tanpa adanya petunjuk klinis apa yang hendak diketahui. Pemeriksaan semacam ini tidak akan menghasilkan sesuatu yang
    diharapkan dan menghamburkan biaya. Sebaiknya pemeriksaan lab perlu direncanakan dengan baik oleh dokter anda dan untuk menghemat biaya perlu dibatasi jenisnya. Hasil lab yang sering diperlihatkan kepada dokter anda setelah anda sendiri memintanya di laboratorium biasanya mengandung banyak kekurangan karena tidak dipilih menurut kebutuhan yang riel. Interpretasi hasilnya juga tidak dapat dilakukan sendiri tanpa pengetahuan lebih lanjut.

WIDAL TEST

PEMERIKSAAN BAKU PENYAKIT DEMAM TIFOID

Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini mungkin menyebabkan seorang ahli yang sudah berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan dalam menegakkan diagnosis demam tifoid apabila hanya berdasarkan gambaran klinis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium mikrobiologi tetap diperlukan untuk memastikan penyebabnya. Tes ideal untuk suatu pemeriksaan laboratorium seharusnya bersifat sensitif, spesifik, dan cepat diketahui hasilnya. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid yang ada sampai saat ini adalah dengan metode konvensional, yaitu kultur kuman dan uji serologi Widal serta metode non-konvensional, yaitu antara lain Poly-merase Chain Reaction (PCR), Enzyme Immunoassay Dot (EIA), dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA).


DEFENISI

Widal test merupakan suatu uji serum darah yang memakai prinsip reaksi agglutinasi untuk mendiagnosa demam typhoid. Dengan kata lain merupakan tes serologi yang digunakan untuk mendeteksi demam typhoid.

PRINSIP


Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Tekhnik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik yang lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (local) memberikan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah enddemis (import). Walaupun begitu, menurut suatu penelitian yang mengukur kemampuan Uji Tabung Widal menggunakan antigen import dan antigen local, terdapat korelasi yang bermakna antara antigen local dengan antigen S.typhi O dan H import, sehingga bisa dipertimbangkan antigen import untuk dipakai di laboratorium yang tidak dapat memproduksi antigen sendiri untuk membantu menegakkan diagnosis demam typhoid.

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.

Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini penjelasan macam antigen tersebut :

  • Antigen O
    Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.

  • Antigen H
    Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.

  • Antigen Vi
    Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.

  • OuterMembrane Protein (OMP)
    Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.


INTERPRETASI HASIL

Interpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa factor antara lain sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit; factor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; saat pengambilan specimen; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis); factor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi uji Widal dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain :
  1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

  2. Saat pengambilan specimen : berdasarkan penelitian Senewiratne, dkk. kenaikan titer antibodi ke level diagnostic pada uji Widal umumnya paling baik pada minggu kedua atau ketiga, yaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya 85,7%.

  3. Pengobatan dini dengan antibiotika ; pemberian antibiotika sebelumnya dapat menghambat pembentukan antibodi.

  4. Vaksinasi terhadap salmonella bisa memberikan reaksi positif palsu. Hal ini dapat dijelaskan bahwa setelah divaksinasi titer agglutinin O dan H meningkat dan menetap selama beberapa waktu. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan pemeriksaan ulang tes Widal seminggu kemudian. Infeksi akan menunjukkan peningkatan titer, sementara pasien yang divaksinasi tidak akan menunjukkan peningkatan titer.

  5. Obat-obatan immunosupresif dapat menghambat pembentukan antibodi.

  6. Reaksi anamnesa. Pada individu yang terkena infeksi typhoid di masa lalu, kadang-kadang terjadi peningkatan antibodi salmonella saat ia menderita infeksi yang bukan typhoid, sehingga diperlukan pemeriksaan Widal ulang seminggu kemudian.

  7. Reaksi silang ; Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

  8. Penyakit-penyakit tertentu seperti malaria, tetanus, sirosis dapat menyebabkan positif palsu.

  9. Konsentrasi suspense antigen dan strain salmonella yang digunakan akan mempengaruhi hasil uji widal.



PENILAIAN

Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam typhoid masih kontroversial diantara para ahli. Namun hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer agglutinin lebih atau sama dengan 4 kali terutama agglutinin O atau agglutinin H bernilai diagnostic yang penting untuk demam typhoid. Kenaikan titer agglutinin yang tinggi pada specimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama. Begitu juga kenaikan titer agglutinin terutama agglutinin H tidak mempunyai arti diagnostic yang penting untuk demam typhoid, namun masih dapat membantu dan menegakkan diagnosis tersangka demam typhoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemic atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemic, sebab pada kelompok penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemic, kemungkinan untuk menelan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemic yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam typhoid, maka ambang atas titer rujukan, baik pada anak dan dewasa perlu ditentukan.o

Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam typhpid yaitu spesifitas yang agak rendah dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil tersebut, sebab banyak factor yang mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yanglebih tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan. Dengan alas an ini maka pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi.

Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
  • Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).

  • Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).

  • Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasiendengan gejala klinis khas.



REEFEERENSI

  • Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Typhoid di Rumah Sakit. Sylvia Y Muliawan, Julius E. Surjawidjaj. Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No 124 tahun 1999.

  • Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Puspa Wardhani, Prihatini, Probohoesodo, M.Y. Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Unair/RSU Dr Soetomo Surabaya.

  • Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. Risky Vitria Prasetyo, Ismoedijanto. Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi . Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya

  • Definition of Widal test . Answer.com

APAKAH VITAMIN E DAPAT MENCEGAH KANKER??











Saya pernah berbicara dengan salah seorang kenalan saya. Beliau didiagnosa suatu penyakit saraf; cavernous angioma; suatu kelainan pembuluh darah yang ditandai dengan perubahan struktur. Singkatnya teman saya itu diberi vitamin E disamping obat antikejang. Lalu saya berpikir mengapa vitamin E. Selanjutnya saya mulai teringaat kembali tentang artikel yang pernah dipublikasikan oleh majalah kedokteran CDK volume 36 no 2, Maret-April 2009. Pada salah satu artikelnya ada yang berjudul “Apakah Suplementasi Vitamin C dan E Dapat Mencegah Kanker?”

Kita langsung pada kesimpulannya saja. Dapat disimpulkan bahwa sebagai pencegahan kanker, suplemen vitamin antioksidan (vit. C dan E) tidak menunjukkan manfaat, sedangkan makan makanan sehat yang kaya vitamin seperti buah dan sayur terbukti mengurangi resiko timbulnya kanker. Dengan kata lain, manfaat buah dan sayur tidak dapat digantikan dengan suplemen vitamin.

Selasa, 25 Mei 2010

DEMAM TIFOID PADA ANAK


Defenisi

Demam Tifoid atau tifus abdominalis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii yang ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh tinja dan urine penderita.

Penyebab

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negative- Salmonella enteric serovar Typhi. S. Paratyphi A, B dan C juga menyebabkan penyakit yang sama namun biasanya lebih ringan.



Patofisiologi

Penyakit ini biasanya ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh organism ini. Pada percobaan, dosis infeksi / jumlah bakteri sekitar 105 - 109 dengan masa inkubasi berkisar antara 4-14 hari. Setelah tertelan, bakteri ini diperkirakan menginvasi tubuh melalui mukosa saluran cerna di terminal ileum. S.Typhi menembus barier mukosa intestinal setelah berikatan pada mikrofili melalui proses internalisasi. Setelah menembus mukosa, bakteri ini akan masuk ke system lymphoid mesenteric, dan selanjutnya masuk ke pembuluh darah melalui lympatik. Proses ini disebut bakteremia primer, dan biasanya asimptomatik, dan kultur darah seringkali negative pada tahap ini. Bakteri yang masuk ke pembuluh darah segera menyebar dan selanjutnya berkoloni di system retikuloendotel, dimana bakteri ini bereplikasi dalam makrofag. Setelah masa replikasi, bakteri ini akan dilepaskan kembali ke darah, menyebabkan bakteremia sekunder, dimana selalu bersamaan dengan munculnya gejala klinis dan pada tahap ini menandakan akhir dari periode inkubasi.

KLIK DISINI UNTUK MENDAPATKAN LINK DOWNLOAD GRATIS, PDF, DOC


Gambaran Klinis

Masa inkubasi biasanya 7-14 hari tapi juga tergantung dari jumlah bakteri/ dosis infeksi (berkisar 3-30 hari). Gambaran klinis bervariasi mulai dari sakit ringan dengan subfebris, malaise, dan sedikit batuk kering sampai gambaran berat seperti abdominal discomfort dan berbagai komplikasi.
Saat tidak dijumpainya tanda-tanda local, masa awal penyakit ini sulit dibedakan dengan demam berdarah atau malaria. Sifat demam naik secara bertahap, namun gambaran klasik demam bertangga (stepladder fever, demam lebih tinggi di sore hari) sudah jarang dijumpai. Demam tifoid biasanya disertai berbagai keluhan lainnya seperti sakit kepala, nyeri sendi, sakit tenggorokan, bibir kering dan pecah, lidah kotor tertutup oleh selaput putih, sembelit, penurunan nafsu makan dan nyeri perut. Pada anak mungkin dijumpai diare pada tahap awal yang diikuti dengan konstipasi. Pada sekitar 10% penderita dijumpai sekelompok bintik-bintik kecil berwarna merah muda di dada dan perut pada minggu kedua dan berlangsung selama 2-5 hari yang disebut Rosespot. Selain itu pada pemeriksaan fisik bias juga ditemui hepatomegali, splenomegali atau keduanya. Untungnya pada anak gejala klinis seperti bradikardi relative, manifestasi neurologi ataupun perdarahan saluran cerna sangat jarang.

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi kultur darah atau jaringan tubuh lainnya, feses dan urin. Kultur darah positif dapat terlihat pada 40-60% pasien pada perjalanan awal penyakit ini. Sedangkan kultur feses dan urin biasanya positif setelah 1 minggu.
Pemeriksaan laboratorium lainnya adalah darah rutin. Hasilnya kurang spesifik. Jumlah leukosit biasanya rendah sehubungan demam dan toksisitas, namun jumlahnya bervariasi bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia bisa dipakai sebagai marker beratnya infeksi dan DIC. Fungsi liver mungkin terganggu namun jarang.
Pemeriksaan lainnya adalah Widal test, dengan mengukur antibody terhadap antigen O dan H dari S.Typhi.

Diagnosis Banding

  1. Demam Tifoid

  2. Demam Berdarah

  3. Malaria

  4. Gastroentritis

  5. Leptospirosis

  6. Sepsis


Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.

Terapi

Umumnya, demam tifoid pada anak dapat dirawat dirumah dengan antibiotik oral dan pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda komplikasi atau kegagalan terapi. Pasien dengan keluhan yang menetap seperti keadaan umum yang lemah, muntah, diare berat, dan distensi abdomen mungkin membutuhkan perawatan di rumah sakit dan pemberian antibiotik parenteral.
Ada beberapa prinsip umum penanganan demam tifoid. Istirahat yang cukup, cairan, dan nutrisi yang baik. Makanan lunak dan gampang dicerna harus diberikan kecuali bila dijumpai distensi atau ileus. Antipiretik dapat diberikan sesuai keperluan. Peran antibiotik sangat penting untuk meminimalisir komplikasi. Peran antibiotic juga dipengaruhi resistensi antimikroba. Selayaknya dilakukan test sensitivitas terhadap mikroba sebagai arahan terapi. Diperkirakan bahwa terapi tradisional baik dengan kloramfenikol atau amoxicillin berhubungan dengan laju relaps sekitar 5-15%, sementara quinolon dan sefalosporin generasi ketiga berhubungan dengan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi. Selama 2 dekade belakangan ini, resistensi obat terhadap S. Typhi (amoxicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan chloramphenicol) membuat pergeseran terapi dengan menggunakan fluoroquinolon dan sefalosporin generasi ketiga. Aminoglikosida dan sefalosporin generasi pertama dan kedua secara klinis tidak efektif. Sefalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxon dan cefotaxim dipakai pada strain yang resisten yang diberikan secara parenteral.

  1. Typoid uncomplicated = rawat jalan

    1. Pilihan pertama adalah cloramfenicol dan amoksisilin, sementara alternative adalah ciprofloxacin.

    2. Cloramfenikol : 50 – 75 mg/kg BB/ hari dengan 4 dosis terbagi selama 14 - 21 hari.

    3. Amoxicillin : 75 – 100mg/kg BB/hari dengan 4 dosis terbagi selama 14 hari.

    4. Ciprofloxacin : 15 mg/kg BB/hari selama 5-7 hari.


  2. Typoid berat = rawat inap


    1. Pilihan pertama adalah ampicillin, ceftriaxon, atau cefotaxim.

    2. Ampicillin : 100 – 200 mg /kg BB/hari terbagi 4 dosis, selama 14 hari.

    3. Ceftriaxone : 60-100 mg/kg BB/hari terbagi 2 dosis, selama 10-14 hari.

    4. Cefotaxim : 80-150 mg/kg BB /hari terbagi 3 dosis, selama 10-14 hari.

    Ciprofloxacin atau golongan fluoroquinolon lainnya sebenarnya efektif namun belum disetujui pemakaiannya secara luas pada anak


Komplikasi

  1. Komplikasi yang paling serius adalah perdarahan saluran cerna dan perforasi. Biasanya muncul pada 2 atau 3 minggu setelah infeksi. Lokasi perforasi biasanya pada terminal ileum atau sekum. Gambaran klinis sulit dibedakan dengan akut apendisitis, gambaran foto polos abdomen menunjukkan udara bebas pada ruang peritoneal.

  2. Bacterial pneumonia

  3. Meningitis

  4. Septic arthritis

  5. Abscess

  6. osteomyelitis


Prognosis

Prognosis baik bila diagnosa cepat ditegakkan dan pemberian antibiotic yang sesuai. Faktor lainnya adalah keadaan umum dan nutrisi yang baik, dan tidak adanya komplikasi. Bila tanpa komplikasi, maka penyembuhan secara bertahap terjadi dalam 2-4 minggu. Pada anak dengan keadaan malnutrisi dan terinfeksi dengan strain multidrug resisten, maka prognosisnya menjadi jelek. Begitu juga bila disertai komplikasi seperti meningitis.

Referensi

  • Nelson Textbook of Pediatric edt 18.

  • Current Pediatric Diagnosis & Treatment 16th Ed: William W. Hay Jr, et al By McGraw-Hill Education - Europe 2002

  • Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases 2nd Edition (October 2002): by Sarah S. Long (Editor), Larry K. Pickering (Editor), Charles G. Prober (Editor) By Churchill Livingstone

Kamis, 01 April 2010

VARICELLA


Definisi

Infeksi akut primer oleh virus varisela zoster yang menyerang kulit & mukosa, disertai dgn gejala konstitusi, kelainan kulit khas – erupsi vesikel terutama di bagian sentral tubuh. Sinonim Varicella ; “Chicken Pox”

Penyebab

Virus Varisela – Zoster (=Virus DNA ; golongan Herpes Virus)

Epidemiologi

Distribusi virus varisella bersifat global (kosmopolit). Varisella merupakan manifestasi dari infeksi primer virus varisella zoster, yang sangat menular. Sekitar 96 % orang yang terpapar virus ini akan berkembang menjadi penyakit. Sekitar 90% infeksi primer terjadi pada anak-anak di bawah 10 tahun. Kurang dari 5 % terjadi pada remaja dewasa (>15 tahun). Tidak ada perbedaan ras. Namun sepertinya prevalensi infeksi primer lebih rendah di daerah tropis dan subtropik dibandingkan dengan Eropa dan Amerika utara.

KLIK DISINI UNTUK MENDAPATKAN LINK DOWNLOAD GRATIS (DOC), (PDF)


Patogenesis

Virus masuk melalui mukosa traktus respiratorius bagian atas atau melalui kontak langsung dengan lesi kulit pasien varisella. Kemudian virus mengalami multiplikasi awal di regional lymph nodes (viremia primer). Kemudian virus akan dimakan oleh sel-sel sistem retikuloendotelial. Disini terjadi replikasi virus lebih banyak lagi (viremia sekunder) dan hal ini terjadi dalam waktu 2 minggu setelah infeksi. Hal ini menyebabkan demam dan malese. Dan dalam waktu 24-72 jam virus menyebar ke kutaneus, dimana akan menginduksi pembentukan vesikel. Ujung saraf sensorik pada epitelium juga terinfeksi. Dari sini virus ini akan bermigrasi ke ganglia sensorik dan akan berdiam sampai infeksi latent. Bila terjadi infeksi latent, maka virus ini akan aktif kembali.


Gambaran klinis


Masa inkubasi varisella berkisar antara 10-20 hari dengan kisaran rata-rata 2 minggu. Gejala klinis dimulai dengan gejala prodormal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi, malese, dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel yang baru sehingga menimbulkan gambaran polimorfi.

Penyebaran terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut dan saluran nafas bagian atas. Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal.

Laboratorium

Laboratorium merupakan pembantu diagnosis. Dapat dilakukan percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan hapus yang diwarnai dengan Giemsa. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel dan akan didapati sel datia berinti banyak.


Diagnosis Banding

• Varisella
• variola


Diagnosis

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dengan bentuk rash yang karakteristik (fluorosensi yang sifatnya papulo vesikuler yang multiforme dan proses penjalarannya sentrifugal) dan dibantu oleh riwayat penyakit dan laboratorium


Penatalaksanaan



Pengobatan bersifat simtomatis, istirahat / tirah baring, jaga kebersihan diri.

Non farmakologis
Jaga kebersihan diri, kuku dipotong, anak jangan dibiarkan menggaruk ruam, mandi dianjurkan disamping dapat mengurangi rasa gatal. Mandi dengan menggunakan air dingin atau hangat, jangan berendam terlalu lama. Lebih baik hindari mandi pada saat anak demam. Bila anak selesai mandi, jangan menggosok badan dengan handuk, lebih baik menekan dengan lembut.



Farmakologis

  1. Bila demam, dapat diberikan antipiretik.
    Obat pilihan adalah parasetamol. Hindari pemberian aspirin karena dapat menimbulkan sindrom Reye. Ibuprofen juga dikontraindikasikan karena dapat menimbulkan fasciitis necrotizing.


  2. Bila gatal, dapat diberikan antipruritus.
    Topical dapat diberikan bedak atau losio antigatal (bedak salisil 1% atau kalamin). Usahakan agar vesikel tidak pecah. Oral antihistamin juga dapat dipakai untuk mengurangi rasa gatal,seperti Diphenhydramine (5 mg/kg/hari), hydroxyzine (2 mg/kg/hari) atau antihistamin lainnya.


  3. Antiboitik bila diperlukan :
    Antibiotik sistemik atau topical mungkin diperlukan bila terjadi infeksi sekunder. Infeksi bakteri superficial seperti impetigo, selulitis dan adenitis dapat diterapi dengan antibiotic oral seperti amoksisilin 25-50 mg/kgBB/hari atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari. Anak-anak dengan infeksi bakteri yang lebih dalam dapat diterapi dengan antibiotic intravena seperti Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/hari.


  4. Antiviral, bila diperlukan :
    Pemberian asiklovir pada anak-anak, remaja, dan dewasa dapat diterima oleh karena profil keamanan dan efikasinya pada varisela. Dosis asiklovir 20 mg/kgBB/dosis (maksimal 800 mg/dosis) yang diberikan 4 dosis perhari selama 5 hari. Pada penelitian, pemberian asiklovir peroral mengurangi gejala varisella pada anak, remaja, dan dewasa sehat (Immunocompetent) bila diberikan dalam 24 jam setelah kemunculan ruam kulit pertama. Dalam penelitian tersebut terbukti asiklovir mengurangi gejala demam, gatal, jumlah ruam kulit yang terbentuk dan durasi ruam kulit. Indikasi pemberian memang belum disepakati, namun direkomendasikan pada pasien bayi kurang dari 6 bulan, remaja (> 12 tahun), anak-anak yang diterapi dengan steroid oral/inhalasi, terapi jangka panjang aspirin, pasien dengan kronik kutaneous (mis., dermatitis atopic) atau penyakit paru (mis., fibrosis sistik), dan pasien dengan gejala demam di atas 40C dan jumlah ruam kulit yang banyak pada hari pertama erupsi. Efikasi pemberian asiklovir > 72 jam setelah ruam masih meragukan. Asiklovir terapi tidak menginduksi imunitas.
    Pemberian asiklovir intravena diindikasikan pada pasien varisella berat yang immunocompromised (bahkan setelah 72 jam). Asiklovir juga dapat dipakai pada ibu hamil. Setiap pasien dengan gejala “disseminated VZV” termasuk pneumonia, hepatitis berat, trombositopenia, atau ensefalitis juga harus mendapatkan terapi intravena asiklovir. Dosis asiklovir intravena adalah 500 mg/m2 setiap 8 jam diberikan dalam 72 jam. Terapi dilanjutkan selama 7 hari atau sampai tidak dijumpai lesi baru selama 48 jam.



Komplikasi

• Ensefalitis
• Pneumonia
• Glomerulo-nefritis
• Karditis
• Hepatitis
• Keratitis & Vesicular Conjunctivitis
• Orchitis
• Perdarahan g mukosa
• Ibu hamil trimester ketiga -> Kelainan kongenital

Prognosis

  • Baik, kecuali penderita gangguan imunitas (leukemia, limfoma, AIDS) atau infeksi sekuder.

  • Dengan perawatan baik dan teliti g jaringan parut minimal


Referensi

  • Ilmu Penyakit Kulit. Prof. Dr. Marwali Harahap. 1998. Hipocrates.

  • Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Prof. Dr.dr. Adhi Djuanda Edisi keempat 2005. FKUI

  • Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007

  • Nelson Textbook of Pediatric. Ed 18.

  • Tropical Dermatology Vademecum LANDES BIOSCIENCE Georgetown, Texas

  • Pediatric Primary Care: Ill-Child Care (February 15, 2001): By Raymond C., Md. Baker (Editor) By Lippincott Williams & Wilkins Publishers

  • Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases 2nd Edition (October 2002): by Sarah S. Long (Editor), Larry K. Pickering (Editor), Charles G. Prober (Editor) By Churchill Livingstone

  • Textbook of Pediatric Emergency Medicine 4th edition (January 15, 2000): by Gary R. Fleisher (Editor), Stephen Ludwig (Editor), Silverman, Fred M. Henretig By Lippincott, Williams & Wilkins

  • Current Pediatric Diagnosis & Treatment 16th Ed: William W. Hay Jr, et al By McGraw-Hill Education - Europe 2002

  • http://www.faqs.org/health/topics/56/Chickenpox.html

  • http://skindisease.suite101.com/article.cfm/chickenpox_frequently_asked_questions


Senin, 15 Maret 2010

ASKARIASIS

DEFINISI:

Askariasis atau infeksi cacing gelang adalah penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Askariasis adalah penyakit kedua terbanyak yang disebabkan oleh parasit.

ETIOLOGI

Askariasis disebabkan oleh nematode Ascaris lumbricoides. Cacing dewasa dapat hidup dalam lumen usus halus 10-24 bulan. Seekor cacing betina mampu menghasilkan 200.000 telur /hari.


KLINIS

  • Infeksi cacing gelang di usus besar gejalanya tidak jelas. Pada infeksi massif dapat terjadi gangguan saluran cerna yang serius antara lain obstruksi total saluran cerna. Cacing gelang dapat bermigrasi ke organ tubuh lainnya misalnya saluran empedu dan menyumbat lumen sehingga berakibat fatal.

  • Telur cacing menetas di usus menjadi larva yang kemudian menembus dinding usus, masuk ke aliran darah lalu ke paru dan menimbulkan gejala seperti batuk, bersin, demam, eosinofilia, dan pneumonitis askaris. Larva selanjutnya masuk ke bronkus dan trakea lalu dibatukkan dan tertelan kembali masuk ke dalam usus dan menjadi cacing dewasa di usus dalam waktu 2 bulan.

  • Cacing dewasa di usus akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti tidak napsu makan, mual, muntah, , dan .

  • Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Sering kali infeksi ini baru diketahui setelah cacing keluar spontan bersama tinja atau dimuntahkan.

  • Bila cacing dalam jumlah besar menggumpal dalam usus dapat terjadi obstruksi usus (ileus), yang merupakan kedaruratan dan penderita perlu dirujuk ke rumah sakit.



PEMERIKSAAN LABORATORIUM :

Pemeriksaan laboratorium merupakan diagnosa pasti dari askariasis. Diagnosa askariasis ditegakkan dengan pemeriksaan feses pasien dimana dijumpai telur cacing askaris. Setiap satu ekor cacing askaris mampu memproduksi jumlah telur yang banyak, sehingga biasanya pada pemeriksaan pertama bisa langsung ditemui.

Saat cacing bermigrasi masuk ke paru biasanya berhubungan dengan eosinophilia dan ditemui gambaran infitrat pada foto dada. Bahkan pada kasus obstruksi tidak jarang diperlukan foto polos abdomen, USG atau pemeriksaan lainnya.


DIAGNOSA

Diagnosis askariasis ditegakkan dengan menemukan Ascaris dewasa atau telur Ascaris pada pemeriksaan tinja.

PENATALAKSANAAN


  • Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal (maksimal 1 gram)

  • Mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg 2 x sehari selama tiga hari berturut-turut (untuk semua umur)

  • Albendazol 400 mg dosis tunggal oral (untuk semua umur), tetapi tidak boleh digunakan selama hamil.
  • Piperazin citrate 150 mg/kg dosis awal, diikuti dengan 6 dosis 65 mg/kg setiap 12 jam.

  • Pada kasus obstruksi partial, beberapa ahli menyarankan terapi alternative dengan Piperazine citrate, yang menyebabkan neuromuscular paralisis (melumpuhkan) cacing dan ekspulsi dari cacing. Biasanya tersedia dalam sirup dan diberikan melalui NGT. Namun perlu diingat Piperazine dan Pyrantel pamoat bekerja saling berlawanan (antagonist) dan jangan diberikan bersamaan.

  • Untuk kasus obstruksi mungkin diperlukan rawat inap. Operasi laparotomy mungkin diperlukan untuk kasus obstruksi yang berat.



PENCEGAHAN

  • Pengobatan masal 6 bulan sekali di daerah endemik atau di daerah yang rawan askariasis.

  • Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti:

    • Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

    • Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan sabun.

    • Sayuran segar (mentah) yang akan dimakan sebagai lalapan, harus dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun.

    • Buang air besar di jamban, tidak di kali atau di kebun.


Bila pasien menderita beberapa spesies cacing, askariasis harus diterapi lebih dahulu dengan pirantel pamoat.


REFERENSI


  • Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Dinas Keseharan R.I.

  • Nelson Textbook of Pediatric. Ed 18.

  • Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases 2nd Edition (October 2002): by Sarah S. Long (Editor), Larry K. Pickering (Editor), Charles G. Prober (Editor) By Churchill Livingstone

  • Oski's Pediatrics: Principles and Practice, 3rd Edition (June 1999): By Julia A. McMillan (Editor), Catherine D. Deangelis (Editor), Ralph D. Feigin (Editor), Joesph Warshaw By Lippincott Williams & Wilkins Publishers.

  • Krugman's Infectious Diseases of Children 11th edition (September 18, 2003) by Anne Gershon (Editor), Peter Hotez (Editor), Samuel Katz (Editor) By Mosby

  • Current Pediatric Diagnosis & Treatment, 15th Ed.


Senin, 01 Maret 2010

TETANUS ANAK


Definisi

Tetanus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani dan menyerang otot rangka. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Disebut juga lockjaw karena terjadi kejang pada otot rahang.

KLIK DISINI UNTUK MENDAPATKAN LINK DOWNLOAD GRATIS (DOC), (PDF)


Penyebab

Tetanus disebabkan oleh Cloastridium tetani, bakteri anaerob yang secara normal terdapat di saluran cerna mamalia dan tanah; Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.

Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum.

Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui :

  1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.

  2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.

  3. OMP, caries gigi.

  4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril.

  5. Penjahitan luka robek yang tidak steril


Patogenesis

Setelah spora masuk kedalam luka, spora ini langsung berubah menjadi bentuk vegetatif, bakteri batang gram negative yang memproduksi dua jenis toksin, tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin, merupakan neurotoksin, yang bertanggung jawab terhadap klinis penyakit. Sedangkan tetanolisin memiliki property hemolisis terhadap kerusakan jaringan local.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
  1. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

  2. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.

  3. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.

  4. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
  1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat

  2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.


Klasifikasi

  1. Generalized tetanus (tetanus umum) merupakan bentuk tetanus yang paling umum, dan parah.

  2. Localized tetanus (tetanus local) ditandai dengan kekakuan otot local dekat pada lokasi luka.

  3. Cephalic tetanus, ditandai dengan trismus dan paralysis satu atau lebih saraf cranial.

  4. Baik local atau cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum.

Gambaran Klinis

  • Gejala-gejala biasanya muncul dalam waktu 5 – 10 hari setelah terinfeksi, tetapi bisa juga timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari setelah terinfeksi.

  • Gejala yang paling sering ditemukan adalah kekakuan rahang dan sulit dibuka (trismus) karena yang pertama terserang adalah otot rahang.

  • Selanjutnya muncul gejala lain berupa gelisah, gangguan menelan, sakit kepala, demam, nyeri tenggorokan, menggigil, kejang otot dan kaku kuduk, lengan serta tungkai.

  • Kejang pada otot-otot wajah menyebabkan ekspresi penderita seperti menyeringai (risus sardonikus) dengan kedua alis yang terangkat.

  • Kekakuan atau kejang otot-otot perut, leher dan punggung bisa menyebabkan kepala dan tumit penderita tertarik ke belakang sedangkan badannya melengkung ke depan yang disebut epistotonus.

  • Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah bisa menyebabkan retensi urin dan konstipasi. Gangguan-gangguan yang ringan, seperti suara berisik, aliran angin atau goncangan, bisa memicu kekejangan otot yang disertai nyeri dan keringat yang berlebihan.

  • Selama kejang penderita tidak dapat berbicara karena otot dadanya kaku atau terjadi kejang tenggorokan sehingga terjadi kekurangan oksigen yang menyebabkan gangguan pernafasan. Biasanya tidak terjadi demam. Laju pernafasan dan denyut jantung serta refleks-refleks biasanya meningkat. Tetanus juga bisa terbatas pada sekelompok otot di sekitar luka. Kejang di sekitar luka ini bisa menetap selama beberapa minggu.


Diagnosis

Diagnosa tetanus didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan fisik pasien terutama sewaktu istirahat. Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan pembiakan bakteri dari apusan luka. Kriteria diagnosis
  1. Gejala klinik : Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ), opistothonus, kaku kuduk, perut papan.

  2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.

  3. Kultur: C. tetani (+).

  4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria


Diagnosa Banding

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.

  • Infeksi : meningoensefalitis, polio, rabies, lesi orofaring, peritonitis.

  • Gangguan metabolic : keracunan strychnine, tetani, reaksi fenotoasin.

  • Penyakit SSP : status epileptic, tumor otak, trauma atau perdarahan.

  • Gangguan psikiatri : histeria

Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak


A. UMUM

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
  • Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka dengan H202.

  • Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita

  • Support pernafasan, beri oksigen, trachcostomi awal, alat pernafasan ventilator bila diperlukan.

  • Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.


B. OBAT

Antibiotika

Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi. Berdasarkan guidelines terbaru direkomendasikan metronidazol sebagai first line terapi. Metronidazol IV 7,5 - 15 mg/kg/hari diberikan dengan dosis terbagi 3-4 kali sehari.

Diberikan parenteral Peniciline Procain dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila tersedia Peniciline G (Benzylpenicilline) intravena, dapat digunakan dengan dosis 50.000-100.000 Unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 2-4 dosis selama 10 hari. Antibiotic lain seperti tetrasiklin, klindamisin, sefalosporin, dan kloramfenikol juga efektif.

.Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
.
Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( hTIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Beberapa ahli merekomendasikan 500 U, yang dianggap lebih efektif dan lebih nyaman yang setara dengan dosis besar.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin (ATS), yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah paha sebelah luar

Tetanus Toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M 0,5 cc. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Tetanus tidak menginduksi imunitas, oleh karena itu pasien dengan riwayat imunisasi primer tetanus tidak jelas harus mendapatkan injeksi yang kedua 1-2 bulan setelah yang pertama dan dosis yang ketiga 6-12 bulan kemudian.

Antikonvulsan

Penyebab utama kematian pada tetanus adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.

Golongan benzodiazepine merupakan prreparat yang banyak dipakai. Obat ini diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 – 4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada hasil evaluasi setelah pemberian anti kejang. Bila kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun.
Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 3-4 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 240 mg/hari.
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masihterjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan

Prognosis

Prognosis tetanus diklasikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
  1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )

  2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum

  3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.


Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
  1. Umur bayi kurang dari 7 hari

  2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang

  3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam

  4. Dijumpai muscular spasm.

Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus neonatorum > 60%.

Komplikasi

Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot pernafasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure

Referensi

  • Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007

  • Evidence-Based Medicine Guidelines

  • Just the Fact in Critical Care Medicine

  • Dr. KIKING RITARWAN . Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam Malik

  • Prevention and management of wound infection Guidance from WHO’s Department of Violence and Injury Prevention and Disability and the Department of Essential Health Technologies

  • Goodman & Gilman’s Manual of Pharmachology and Theraupetics

  • Emedicine; Tetanus

  • Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies


Photobucket