Senin, 01 Maret 2010

TETANUS ANAK


Definisi

Tetanus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani dan menyerang otot rangka. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Disebut juga lockjaw karena terjadi kejang pada otot rahang.

KLIK DISINI UNTUK MENDAPATKAN LINK DOWNLOAD GRATIS (DOC), (PDF)


Penyebab

Tetanus disebabkan oleh Cloastridium tetani, bakteri anaerob yang secara normal terdapat di saluran cerna mamalia dan tanah; Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.

Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum.

Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui :

  1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.

  2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.

  3. OMP, caries gigi.

  4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril.

  5. Penjahitan luka robek yang tidak steril


Patogenesis

Setelah spora masuk kedalam luka, spora ini langsung berubah menjadi bentuk vegetatif, bakteri batang gram negative yang memproduksi dua jenis toksin, tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin, merupakan neurotoksin, yang bertanggung jawab terhadap klinis penyakit. Sedangkan tetanolisin memiliki property hemolisis terhadap kerusakan jaringan local.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
  1. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

  2. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.

  3. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.

  4. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
  1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat

  2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.


Klasifikasi

  1. Generalized tetanus (tetanus umum) merupakan bentuk tetanus yang paling umum, dan parah.

  2. Localized tetanus (tetanus local) ditandai dengan kekakuan otot local dekat pada lokasi luka.

  3. Cephalic tetanus, ditandai dengan trismus dan paralysis satu atau lebih saraf cranial.

  4. Baik local atau cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum.

Gambaran Klinis

  • Gejala-gejala biasanya muncul dalam waktu 5 – 10 hari setelah terinfeksi, tetapi bisa juga timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari setelah terinfeksi.

  • Gejala yang paling sering ditemukan adalah kekakuan rahang dan sulit dibuka (trismus) karena yang pertama terserang adalah otot rahang.

  • Selanjutnya muncul gejala lain berupa gelisah, gangguan menelan, sakit kepala, demam, nyeri tenggorokan, menggigil, kejang otot dan kaku kuduk, lengan serta tungkai.

  • Kejang pada otot-otot wajah menyebabkan ekspresi penderita seperti menyeringai (risus sardonikus) dengan kedua alis yang terangkat.

  • Kekakuan atau kejang otot-otot perut, leher dan punggung bisa menyebabkan kepala dan tumit penderita tertarik ke belakang sedangkan badannya melengkung ke depan yang disebut epistotonus.

  • Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah bisa menyebabkan retensi urin dan konstipasi. Gangguan-gangguan yang ringan, seperti suara berisik, aliran angin atau goncangan, bisa memicu kekejangan otot yang disertai nyeri dan keringat yang berlebihan.

  • Selama kejang penderita tidak dapat berbicara karena otot dadanya kaku atau terjadi kejang tenggorokan sehingga terjadi kekurangan oksigen yang menyebabkan gangguan pernafasan. Biasanya tidak terjadi demam. Laju pernafasan dan denyut jantung serta refleks-refleks biasanya meningkat. Tetanus juga bisa terbatas pada sekelompok otot di sekitar luka. Kejang di sekitar luka ini bisa menetap selama beberapa minggu.


Diagnosis

Diagnosa tetanus didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan fisik pasien terutama sewaktu istirahat. Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan pembiakan bakteri dari apusan luka. Kriteria diagnosis
  1. Gejala klinik : Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ), opistothonus, kaku kuduk, perut papan.

  2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.

  3. Kultur: C. tetani (+).

  4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria


Diagnosa Banding

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.

  • Infeksi : meningoensefalitis, polio, rabies, lesi orofaring, peritonitis.

  • Gangguan metabolic : keracunan strychnine, tetani, reaksi fenotoasin.

  • Penyakit SSP : status epileptic, tumor otak, trauma atau perdarahan.

  • Gangguan psikiatri : histeria

Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak


A. UMUM

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
  • Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka dengan H202.

  • Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita

  • Support pernafasan, beri oksigen, trachcostomi awal, alat pernafasan ventilator bila diperlukan.

  • Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.


B. OBAT

Antibiotika

Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi. Berdasarkan guidelines terbaru direkomendasikan metronidazol sebagai first line terapi. Metronidazol IV 7,5 - 15 mg/kg/hari diberikan dengan dosis terbagi 3-4 kali sehari.

Diberikan parenteral Peniciline Procain dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila tersedia Peniciline G (Benzylpenicilline) intravena, dapat digunakan dengan dosis 50.000-100.000 Unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 2-4 dosis selama 10 hari. Antibiotic lain seperti tetrasiklin, klindamisin, sefalosporin, dan kloramfenikol juga efektif.

.Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
.
Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( hTIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Beberapa ahli merekomendasikan 500 U, yang dianggap lebih efektif dan lebih nyaman yang setara dengan dosis besar.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin (ATS), yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah paha sebelah luar

Tetanus Toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M 0,5 cc. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Tetanus tidak menginduksi imunitas, oleh karena itu pasien dengan riwayat imunisasi primer tetanus tidak jelas harus mendapatkan injeksi yang kedua 1-2 bulan setelah yang pertama dan dosis yang ketiga 6-12 bulan kemudian.

Antikonvulsan

Penyebab utama kematian pada tetanus adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.

Golongan benzodiazepine merupakan prreparat yang banyak dipakai. Obat ini diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 – 4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada hasil evaluasi setelah pemberian anti kejang. Bila kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun.
Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 3-4 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 240 mg/hari.
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masihterjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan

Prognosis

Prognosis tetanus diklasikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
  1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )

  2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum

  3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.


Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
  1. Umur bayi kurang dari 7 hari

  2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang

  3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam

  4. Dijumpai muscular spasm.

Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus neonatorum > 60%.

Komplikasi

Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot pernafasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure

Referensi

  • Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007

  • Evidence-Based Medicine Guidelines

  • Just the Fact in Critical Care Medicine

  • Dr. KIKING RITARWAN . Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam Malik

  • Prevention and management of wound infection Guidance from WHO’s Department of Violence and Injury Prevention and Disability and the Department of Essential Health Technologies

  • Goodman & Gilman’s Manual of Pharmachology and Theraupetics

  • Emedicine; Tetanus

  • Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Photobucket