Defenisi
Demam Tifoid atau tifus abdominalis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii yang ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh tinja dan urine penderita.
Penyebab
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negative- Salmonella enteric serovar Typhi. S. Paratyphi A, B dan C juga menyebabkan penyakit yang sama namun biasanya lebih ringan.
Patofisiologi
Penyakit ini biasanya ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh organism ini. Pada percobaan, dosis infeksi / jumlah bakteri sekitar 105 - 109 dengan masa inkubasi berkisar antara 4-14 hari. Setelah tertelan, bakteri ini diperkirakan menginvasi tubuh melalui mukosa saluran cerna di terminal ileum. S.Typhi menembus barier mukosa intestinal setelah berikatan pada mikrofili melalui proses internalisasi. Setelah menembus mukosa, bakteri ini akan masuk ke system lymphoid mesenteric, dan selanjutnya masuk ke pembuluh darah melalui lympatik. Proses ini disebut bakteremia primer, dan biasanya asimptomatik, dan kultur darah seringkali negative pada tahap ini. Bakteri yang masuk ke pembuluh darah segera menyebar dan selanjutnya berkoloni di system retikuloendotel, dimana bakteri ini bereplikasi dalam makrofag. Setelah masa replikasi, bakteri ini akan dilepaskan kembali ke darah, menyebabkan bakteremia sekunder, dimana selalu bersamaan dengan munculnya gejala klinis dan pada tahap ini menandakan akhir dari periode inkubasi.
KLIK DISINI UNTUK MENDAPATKAN LINK DOWNLOAD GRATIS, PDF, DOC
Gambaran Klinis
Masa inkubasi biasanya 7-14 hari tapi juga tergantung dari jumlah bakteri/ dosis infeksi (berkisar 3-30 hari). Gambaran klinis bervariasi mulai dari sakit ringan dengan subfebris, malaise, dan sedikit batuk kering sampai gambaran berat seperti abdominal discomfort dan berbagai komplikasi.
Saat tidak dijumpainya tanda-tanda local, masa awal penyakit ini sulit dibedakan dengan demam berdarah atau malaria. Sifat demam naik secara bertahap, namun gambaran klasik demam bertangga (stepladder fever, demam lebih tinggi di sore hari) sudah jarang dijumpai. Demam tifoid biasanya disertai berbagai keluhan lainnya seperti sakit kepala, nyeri sendi, sakit tenggorokan, bibir kering dan pecah, lidah kotor tertutup oleh selaput putih, sembelit, penurunan nafsu makan dan nyeri perut. Pada anak mungkin dijumpai diare pada tahap awal yang diikuti dengan konstipasi. Pada sekitar 10% penderita dijumpai sekelompok bintik-bintik kecil berwarna merah muda di dada dan perut pada minggu kedua dan berlangsung selama 2-5 hari yang disebut Rosespot. Selain itu pada pemeriksaan fisik bias juga ditemui hepatomegali, splenomegali atau keduanya. Untungnya pada anak gejala klinis seperti bradikardi relative, manifestasi neurologi ataupun perdarahan saluran cerna sangat jarang.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi kultur darah atau jaringan tubuh lainnya, feses dan urin. Kultur darah positif dapat terlihat pada 40-60% pasien pada perjalanan awal penyakit ini. Sedangkan kultur feses dan urin biasanya positif setelah 1 minggu.
Pemeriksaan laboratorium lainnya adalah darah rutin. Hasilnya kurang spesifik. Jumlah leukosit biasanya rendah sehubungan demam dan toksisitas, namun jumlahnya bervariasi bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia bisa dipakai sebagai marker beratnya infeksi dan DIC. Fungsi liver mungkin terganggu namun jarang.
Pemeriksaan lainnya adalah Widal test, dengan mengukur antibody terhadap antigen O dan H dari S.Typhi.
Diagnosis Banding
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.
Terapi
Umumnya, demam tifoid pada anak dapat dirawat dirumah dengan antibiotik oral dan pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda komplikasi atau kegagalan terapi. Pasien dengan keluhan yang menetap seperti keadaan umum yang lemah, muntah, diare berat, dan distensi abdomen mungkin membutuhkan perawatan di rumah sakit dan pemberian antibiotik parenteral.
Ada beberapa prinsip umum penanganan demam tifoid. Istirahat yang cukup, cairan, dan nutrisi yang baik. Makanan lunak dan gampang dicerna harus diberikan kecuali bila dijumpai distensi atau ileus. Antipiretik dapat diberikan sesuai keperluan. Peran antibiotik sangat penting untuk meminimalisir komplikasi. Peran antibiotic juga dipengaruhi resistensi antimikroba. Selayaknya dilakukan test sensitivitas terhadap mikroba sebagai arahan terapi. Diperkirakan bahwa terapi tradisional baik dengan kloramfenikol atau amoxicillin berhubungan dengan laju relaps sekitar 5-15%, sementara quinolon dan sefalosporin generasi ketiga berhubungan dengan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi. Selama 2 dekade belakangan ini, resistensi obat terhadap S. Typhi (amoxicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan chloramphenicol) membuat pergeseran terapi dengan menggunakan fluoroquinolon dan sefalosporin generasi ketiga. Aminoglikosida dan sefalosporin generasi pertama dan kedua secara klinis tidak efektif. Sefalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxon dan cefotaxim dipakai pada strain yang resisten yang diberikan secara parenteral.
Ciprofloxacin atau golongan fluoroquinolon lainnya sebenarnya efektif namun belum disetujui pemakaiannya secara luas pada anak
Komplikasi
Prognosis
Prognosis baik bila diagnosa cepat ditegakkan dan pemberian antibiotic yang sesuai. Faktor lainnya adalah keadaan umum dan nutrisi yang baik, dan tidak adanya komplikasi. Bila tanpa komplikasi, maka penyembuhan secara bertahap terjadi dalam 2-4 minggu. Pada anak dengan keadaan malnutrisi dan terinfeksi dengan strain multidrug resisten, maka prognosisnya menjadi jelek. Begitu juga bila disertai komplikasi seperti meningitis.
Referensi